Kamis, 21 Agustus 2014

Published 8/21/2014 10:17:00 PM by with 0 comment

MELTED (Edisi Revisi)

MELTED (Melebur)

                Tangan dinginku membeku, seakan mati rasa. Hangatnya kayu yang terbakar oleh api tidak bisa menghangatkan tanganku lagi. Kini aku hidup dengan ke dua tangan yang sudah tak berfungsi. Aku bagai ikan tanpa sirip, hanya akan terombang-ambing oleh derasnya gelombang laut di samudra.
                “Hei, Kau! Apa yang kau lakukan di situ?” Sebuah suara membangunkan tidurku.
                Aku membuka mata. Ternyata aku masih bisa melihat dunia, dunia yang penuh dengan cinta yang membeku. Jika tak kenal maka tak peduli, itu yang mereka lakukan padaku. Tapi baru kali ini ada yang membangunkan tidurku yang hanya berselimut koran.
                “Ya maaf… Ada apa ya?” Tanyaku dengan mata yang masih samar-samar memandang orang yang berbicara padaku.
                “Kau tidak tahu tempat apa ini?” Tanyanya.
                “Taman kota.”
                “Ya. Lantas kenapa kau tidur di sini? Sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini!” Ucapnya tegas.
                Aku tersenyum. Ternyata bahkan seorang perempuan pun hatinya sudah beku. Tidak bisakah dia berbicara dengan nada pelan pada seseorang yang seperti ku ini?. Memang dunia sudah berubah, tidak seperti dulu yang penuh dengan keramahan.
                Berjalan tanpa alas kaki, dengan baju lusuh dan tas yang robek, membuatku selalu menjadi pusat perhatian. Bukan tuk dipuji-puji seperti artis tapi tuk di olok, di tertawakan bahkan cemooh oleh orang-orang. Sekali lagi itu mungkin karena rasa simpati mereka telah membeku.
                Aku melangkahkan kaki, angin musim semi membuat kaki ku dingin, namun bagaimana jika musim dingin datang nanti? Apakah aku masih bisa melangkahkan kaki tanpa alas kaki seperti hari ini?.
                “… Dia tidak malu ya… Kenapa gelandangan ada di sini? … Ihh bau, menjauh darinya anakku! … Iya bu dia bau! …” Ejekan seperti ini sudah menjadi sarapanku pagi hari, bahkan mungkin sudah menjadi santapanku setiap hari.
                “Harus kemana lagi aku? Kini aku benar-benar bagai ikan tanpa sirip!” Ucapku dalam hati, tanpa ku sadari air mataku meleleh.
                Aku menghentikan langkahku. Dengan air mata yang ku biarkan hilang dengan sendirinya. Aku menatap kerubunan orang sedang menonton pertunjukkan musisi jalanan. Mereka terlihat begitu gembira. Andai aku bisa menjadi bagian dari kebahagiaan itu, aku mungkin tak akan sesedih ini.
                Aku mendekati musisi jalanan itu.
                “Permisi dapatkah aku bernyanyi sebentar saja?” Tanyaku.
                “Baik … kau boleh” Ucapnya dengan wajah tersenyum. Baru kali ini aku melihat senyum tulus dari seseorang.
                “… Apa yang kau lakukan di sana? … sebaiknya kau minggir … Iya benar! Sebaiknya kau pergi … Pergi dari sana! Dasar gelandangan! …” Teriak orang-orang di depanku.
                Aku terpojok dengan ejekan mereka. Aku hanya ingin membuat suasana menjadi hangat. Tapi tampaknya suasana hangat yang ingin ku beri tidak disambut dengan baik, bahkan beberapa dari mereka langsung pergi saat melihat aku berada di depan.
                “Maaf aku merusak pertunjukanmu pak.” Ucapku pada musisi jalanan itu.
                “Tak apa, aku bisa mengerti. Bagaimana kalau kau ikut denganku saja. Kita bekerja sama. Bagaimana?”
                “Tapi tanganku… “ Ucapku sambil melihat kedua tanganku.
                “Kau tahu, banyak sekali orang di luar sana yang berjuang walau tubuh mereka tidak sempurna. Seharusnya kau memiliki semangat seperti mereka.”
                Aku menatapnya. Laki-laki yang kira-kira berumur empat puluh tahun ini mengatakan hal benar. Masih banyak orang yang sepertiku, bahkan lebih parah dariku tetapi mereka tidak pernah menganggap diri mereka kurang, mereka selalu optimis menjalani hidup.
                “Benar! Pak kau benar. Aku mau.” Ucapku dengan penuh semangat.
                Musisi jalanan itu langsung membereskan peralatan bernyanyinya. Aku tidak bisa membantunya banyak, mungkin hanya mendorong beberapa barang ke dekat mobil miliknya yang terparkir di sisi jalan.
                “Pak apa alasanmu bernyanyi?”
                “Hmm? Aku hanya ingin meleburkan hati setiap orang dengan laguku.”
                Tujuan yang mulia. Aku menatap pak tua itu yang sedang berusaha menyalakan mobil kol ini. “Coba saja setiap orang seperti dirimu pak, pasti dunia ini akan indah dan  menyenangkan…” Ucapku.
                Pak tua itu tersenyum padaku seraya menarik rem tangan mobil itu lalu memacu kendaraannya.
                Mobil sudah berjalan sekitar lima belas menit. Belum ada kata yang kembali terucap di antara kami. Aku masih sibuk mengaggumi kebaikkan pak tua ini. Dan dia mungkin sedang sibuk dengan mengemudi.
                “Tidak akan indah…” Ucap pak tua itu tiba-tiba.
                “M-maksudnya?”
                “Jika semua orang di dunia ini seperti ku, mungkin kebahagiaan hanya seperti kebiasaan yang membosankan…” Jelasnya.
                Aku diam. Benar juga perkataannya terkadang ke sempurnaan adalah hal yang membosankan, justru kekurangan yang membuat warna hidup semakin menarik. Penuh dengan tantangan.
                “Pak istri dan anakmu di mana?” Tanyaku setelah sampai di depan rumah ber-arsitektur eropa. Rumah itu terlihat mencolok diantara rumah-rumah lain yang bergaya korea.
                “Mereka sudah tidak ada…” Ucapnya sambil menurunkan barang-barangnya.
                Aku menatapnya. Mencoba untuk menerjemahkan ucapan pak tua itu. “mereka meninggal?”.
                “Ya meninggal, tapi tepatnya meninggalkan ku.”  Katanya. “Ayo masuk, kau mungkin sudah sangat lapar.”
               
                Burung-burung sudah bernyanyi. Mereka tersenyum melihat matahari yang masih bisa bersinar pagi ini. Tuhan sungguh baik!
                Aku membuka kedua mataku. Aku dapat melihat langit-langit rumah yang sudah kurang terawat. Sarang laba-laba di pojok-pojoknya, beberapa bagian terkelupas, dan ada uga yang bolong karena dimakan rayap. Nampaknya pak tua itu sudah jarang masuk ke kamar ini.
                “Kau mandi saja dulu…” Ucap pak tua itu.
                Aku mengangguk lalu berjalan ke kamar mandi. Sampai di sana aku baru sadar, aku sudah tak mandi selama empat tahun. Selama ini aku mandi jika ada hujan, namun setelah itu aku akan sangat menderita karena aku akan sakit.
                Akhirnya aku sudah selesai mandi. Pak tua itu segera mengajakku makan dan setelah itu kami berdua berangkat ke tempat kemarin kita pertama bertemu.  Di sana sudah terlihat beberapa orang yang mungkin menunggu pak tua ini untuk tampil.
                Aku turun dari mobilnya. Aku lihat semua perangkat sudah hampir semua terpasang nampakanya orang-orang yagn tadi itu adalah orang yang membantu pak tua ini untuk memasang peralatannya.
                “Jangan takut, kau kini lebih baik. Mereka biasanya melihat orang dari luarnya, tetapi setelah mereka melihat dalamnya mereka akan segera luluh…” Ucap pak tua itu meyakinkanku.
                Aku mengangguk.
                Pertunjukkan pun dimulai, beberapa pejalan kaki ikut menonton kami. Pak tua itu bermain piano, sementara aku bernyanyi, bukan dengan suara merduku tapi dengan hatiku.
                … Di bawah langit biru kini ku bernyanyi
                Di temani rasa sepi yang sampai kini tak berhenti
                Tapi ku nikmati semua yang terjadi
                Walau kurasa pahit tetap kini ku jalani …
                Tepuk tangan bergemuruh, aku tersenyum kepada dunia. Setidaknya aku sudah bisa meleburkan hati sebagian kecil manusia di bumi ini.
***
               
               

                
      edit

0 komentar:

Posting Komentar

Tolong agar tidak menyertakan link aktif pada komentar anda :)