MELTED
(Melebur)
Tangan
dinginku membeku, seakan mati rasa. Hangatnya kayu yang terbakar oleh api tidak
bisa menghangatkan tanganku lagi. Kini aku hidup dengan ke dua tangan yang
sudah tak berfungsi. Aku bagai ikan tanpa sirip, hanya akan terombang-ambing
oleh derasnya gelombang laut di samudra.
“Hei,
Kau! Apa yang kau lakukan di situ?” Sebuah suara membangunkan tidurku.
Aku
membuka mata. Ternyata aku masih bisa melihat dunia, dunia yang penuh dengan
cinta yang membeku. Jika tak kenal maka tak peduli, itu yang mereka lakukan
padaku. Tapi baru kali ini ada yang membangunkan tidurku yang hanya berselimut
koran.
“Ya
maaf… Ada apa ya?” Tanyaku dengan mata yang masih samar-samar memandang orang
yang berbicara padaku.
“Kau
tidak tahu tempat apa ini?” Tanyanya.
“Taman
kota.”
“Ya.
Lantas kenapa kau tidur di sini? Sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini!”
Ucapnya tegas.
Aku
tersenyum. Ternyata bahkan seorang perempuan pun hatinya sudah beku. Tidak
bisakah dia berbicara dengan nada pelan pada seseorang yang seperti ku ini?.
Memang dunia sudah berubah, tidak seperti dulu yang penuh dengan keramahan.
Berjalan
tanpa alas kaki, dengan baju lusuh dan tas yang robek, membuatku selalu menjadi
pusat perhatian. Bukan tuk dipuji-puji seperti artis tapi tuk di olok, di
tertawakan bahkan cemooh oleh orang-orang. Sekali lagi itu mungkin karena rasa
simpati mereka telah membeku.
Aku
melangkahkan kaki, angin musim semi membuat kaki ku dingin, namun bagaimana
jika musim dingin datang nanti? Apakah aku masih bisa melangkahkan kaki tanpa
alas kaki seperti hari ini?.
“…
Dia tidak malu ya… Kenapa gelandangan ada di sini? … Ihh bau, menjauh darinya
anakku! … Iya bu dia bau! …” Ejekan seperti ini sudah menjadi sarapanku pagi
hari, bahkan mungkin sudah menjadi santapanku setiap hari.
“Harus
kemana lagi aku? Kini aku benar-benar bagai ikan tanpa sirip!” Ucapku dalam
hati, tanpa ku sadari air mataku meleleh.
Aku
menghentikan langkahku. Dengan air mata yang ku biarkan hilang dengan
sendirinya. Aku menatap kerubunan orang sedang menonton pertunjukkan musisi
jalanan. Mereka terlihat begitu gembira. Andai aku bisa menjadi bagian dari
kebahagiaan itu, aku mungkin tak akan sesedih ini.
Aku
mendekati musisi jalanan itu.
“Permisi
dapatkah aku bernyanyi sebentar saja?” Tanyaku.
“Baik
… kau boleh” Ucapnya dengan wajah tersenyum. Baru kali ini aku melihat senyum
tulus dari seseorang.
“…
Apa yang kau lakukan di sana? … sebaiknya kau minggir … Iya benar! Sebaiknya
kau pergi … Pergi dari sana! Dasar gelandangan! …” Teriak orang-orang di
depanku.
Aku
terpojok dengan ejekan mereka. Aku hanya ingin membuat suasana menjadi hangat.
Tapi tampaknya suasana hangat yang ingin ku beri tidak disambut dengan baik,
bahkan beberapa dari mereka langsung pergi saat melihat aku berada di depan.
“Maaf
aku merusak pertunjukanmu pak.” Ucapku pada musisi jalanan itu.
“Tak
apa, aku bisa mengerti. Bagaimana kalau kau ikut denganku saja. Kita bekerja
sama. Bagaimana?”
“Tapi
tanganku… “ Ucapku sambil melihat kedua tanganku.
“Kau
tahu, banyak sekali orang di luar sana yang berjuang walau tubuh mereka tidak
sempurna. Seharusnya kau memiliki semangat seperti mereka.”
Aku
menatapnya. Laki-laki yang kira-kira berumur empat puluh tahun ini mengatakan
hal benar. Masih banyak orang yang sepertiku, bahkan lebih parah dariku tetapi
mereka tidak pernah menganggap diri mereka kurang, mereka selalu optimis
menjalani hidup.
“Benar!
Pak kau benar. Aku mau.” Ucapku dengan penuh semangat.
Musisi
jalanan itu langsung membereskan peralatan bernyanyinya. Aku tidak bisa
membantunya banyak, mungkin hanya mendorong beberapa barang ke dekat mobil
miliknya yang terparkir di sisi jalan.
“Pak
apa alasanmu bernyanyi?”
“Hmm?
Aku hanya ingin meleburkan hati setiap orang dengan laguku.”
Tujuan
yang mulia. Aku menatap pak tua itu yang sedang berusaha menyalakan mobil
kol ini. “Coba saja setiap orang seperti dirimu pak, pasti dunia ini akan indah
dan menyenangkan…” Ucapku.
Pak
tua itu tersenyum padaku seraya menarik rem tangan mobil itu lalu memacu
kendaraannya.
Mobil
sudah berjalan sekitar lima belas menit. Belum ada kata yang kembali terucap di
antara kami. Aku masih sibuk mengaggumi kebaikkan pak tua ini. Dan dia mungkin
sedang sibuk dengan mengemudi.
“Tidak
akan indah…” Ucap pak tua itu tiba-tiba.
“M-maksudnya?”
“Jika
semua orang di dunia ini seperti ku, mungkin kebahagiaan hanya seperti
kebiasaan yang membosankan…” Jelasnya.
Aku
diam. Benar juga perkataannya terkadang ke sempurnaan adalah hal yang
membosankan, justru kekurangan yang membuat warna hidup semakin menarik. Penuh
dengan tantangan.
“Pak
istri dan anakmu di mana?” Tanyaku setelah sampai di depan rumah ber-arsitektur
eropa. Rumah itu terlihat mencolok diantara rumah-rumah lain yang bergaya
korea.
“Mereka
sudah tidak ada…” Ucapnya sambil menurunkan barang-barangnya.
Aku
menatapnya. Mencoba untuk menerjemahkan ucapan pak tua itu. “mereka
meninggal?”.
“Ya
meninggal, tapi tepatnya meninggalkan ku.”
Katanya. “Ayo masuk, kau mungkin sudah sangat lapar.”
Burung-burung
sudah bernyanyi. Mereka tersenyum melihat matahari yang masih bisa bersinar
pagi ini. Tuhan sungguh baik!
Aku
membuka kedua mataku. Aku dapat melihat langit-langit rumah yang sudah kurang
terawat. Sarang laba-laba di pojok-pojoknya, beberapa bagian terkelupas, dan
ada uga yang bolong karena dimakan rayap. Nampaknya pak tua itu sudah jarang
masuk ke kamar ini.
“Kau
mandi saja dulu…” Ucap pak tua itu.
Aku
mengangguk lalu berjalan ke kamar mandi. Sampai di sana aku baru sadar, aku
sudah tak mandi selama empat tahun. Selama ini aku mandi jika ada hujan, namun
setelah itu aku akan sangat menderita karena aku akan sakit.
Akhirnya
aku sudah selesai mandi. Pak tua itu segera mengajakku makan dan setelah itu
kami berdua berangkat ke tempat kemarin kita pertama bertemu. Di sana sudah terlihat beberapa orang yang
mungkin menunggu pak tua ini untuk tampil.
Aku
turun dari mobilnya. Aku lihat semua perangkat sudah hampir semua terpasang
nampakanya orang-orang yagn tadi itu adalah orang yang membantu pak tua ini
untuk memasang peralatannya.
“Jangan
takut, kau kini lebih baik. Mereka biasanya melihat orang dari luarnya, tetapi
setelah mereka melihat dalamnya mereka akan segera luluh…” Ucap pak tua itu
meyakinkanku.
Aku
mengangguk.
Pertunjukkan
pun dimulai, beberapa pejalan kaki ikut menonton kami. Pak tua itu bermain
piano, sementara aku bernyanyi, bukan dengan suara merduku tapi dengan hatiku.
…
Di bawah langit biru kini ku bernyanyi
Di
temani rasa sepi yang sampai kini tak berhenti
Tapi
ku nikmati semua yang terjadi
Walau
kurasa pahit tetap kini ku jalani …
Tepuk tangan bergemuruh, aku tersenyum kepada dunia. Setidaknya
aku sudah bisa meleburkan hati sebagian kecil manusia di bumi ini.
***
0 komentar:
Posting Komentar
Tolong agar tidak menyertakan link aktif pada komentar anda :)